Wednesday, February 1, 2017

Gajahku Sayang, Gajahku Malang



Gajah sumatera yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dahulunya, mamalia besar ini begitu dihormati dan mendapat tempat terhormat, baik sebagai penyambut tamu hingga sebagai pasukan perang. Mengapa sekarang dibunuh? Foto: Junaidi Hanafiah


Hewan bertelinga besar bak kipas ini tergeletak begitu saja. Berdiam diri. Bau, dan tak bernyawa. Sedih, kesal, marah, semua rasa bercampur aduk menjadi satu. Tapi, yang pasti. Ada degup jantung yang berdetak tak beraturan. Begitu cepat, dan, yang aku tahu, ini adalah emosi yang bergerak ke ubun-ubun. Gajah sumatraku, mati lagi!

Suatu hari, aku bertanya, apa salahnya? Apakah karena gadingnya yang menjadi suatu hal penentu strata sosial dalam bermasyarakat ataukah hanya sekedar sebuah keegoisan diri. Tapi inilah keadaan Gajah Sumatra di Aceh. Tempat di mana dulu dia begitu diagungkan. Tempat di mana dulu dia mempunyai tempat istimewa. 


Jauh sebelum hutan hujan Aceh rusak, gajah Sumatra, harimau Sumatra, badak, dan orangutan tinggal bersama tanpa pernah dianggap hama. Bahkan, dalam literature sejarah kesultanan Aceh, Gajah, menjadi sebuah kebanggaan Sultan Iskandar Muda dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Bukan hanya itu, kecintaan sang sultan akan gajah akhirnya membuahkan prajurit kavaleri bergajah yang jumlahnya mencapai 1.000 pasukan. Pasukan gajah ini digunakan untuk melengkapi infanteri, pasukan berkuda dan persenjataan artileri meriam yang dimiliki Sultan Iskandar Muda.



Aceh Darussalam pada waktu itu merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki pasukan 1.000 gajah. Gajah-gajah tersebut selain digunakan untuk armada perang juga untuk penyambutan tamu. Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk membentengi istananya. Ratusan gajah-gajah tersebut dilatih untuk menghancurkan dan berperang sehingga tak takut suara senapan.

Iskandar Muda yang sangat menyayangi binatang ini memberikan nama kepada masing-masing gajah. Dia juga sangat menghormati gajah yang menurutnya paling berani dan paling terlatih. 

Bahkan saking sayangnya dia dengan gajah, diceritakan pula ketika gajah-gajah itu berjalan-jalan di luar, dia akan memerintahkan anak buahnya untuk membawakan payung bagi mereka. (sumber sindonews.com)


Pada masa konflik lain lagi ceritanya. Pernah suatu ketika saya mendengar cerita yang cukup mengharukan tatkala para pejuang Aceh terkepung di dalam hutan. Salah satu anggota mereka tertembak dan kesulitan untuk mengevakuasi. Musuh semakin dekat. Dan, mereka kebingungan. 

Tiba-tiba, gerombolan gajah muncul dari balik semak-semak. Para pejuang Aceh yang terjepit semakin terjepit. Mereka panik dan tak berdaya. Gajah yang datang semakin ramai. Seolah ingin melahap mereka karena bermain di area para gajah. 

Ketika engkau menghargai alam, maka alam akan menjagamu. Begitulah bunyi kiasan para pencinta hutan. Dan para pejuang Aceh terselamatkan dari kejaran musuh. Musuh kebingungan. Jejak para pejuang Aceh berganti dengan jejak rombongan gajah. Tak pun mereka berani mendekat. Karena rombongan gajah duduk sembari memamah biak. Sehingga hal tersebut menimbulkan persepsi dimata musuh kalau tidak mungkin pejuang Aceh bersembunyi di sekitar gajah. 

Tapi yang sesungguhnya terjadi, para pejuang Aceh memang dikelilingi oleh para rombongan gajah. Diselamatkan dari kejaran musuh. 

Tapi kini?

Perlahan tapi pasti, pergeseran nilai-nilai akan kemuliaan hewan besar ini hilang. Rakyat Aceh yang dahulu begitu bangga akan gajah mereka. Kini tak lagi. Gajah tak lebih dari seekor hewan besar yang menganggu ladang dan kebun sawit warga. Gajah Sumatra tak lebih dari hewan Hama yang menganggu masyarakat Aceh. 

Benarkah gajah itu hama? Sebenarnya siapakah yang hama sebenarnya? Gajah, memiliki wilayah teritorial dalam sehari mengililingi areal seluas 20 km untuk mencari makan. Dan, ia tak akan memasuki kawasan lainnya. Kecuali! Lahan teritorial gajah sudah berubah menjadi kebun sawit ataupun ladang warga. Nah, sampai di sini salah siapa? Siapa yang hama? 



Gajahkah hama bagi manusia? Ataukah manusia itu sendiri yang sebenarnya adalah hama bagi gajah? Pemandangan ini mulai terlihat biasa dan menjadi sebuah hal yang tak wah lagi. Dahulu, ketika melihat gajah di seputaran Saree, Aceh besar, saya selalu berteriak kegeringan. Bagaimana tidak, hewan kebanggaan Aceh pada jaman iskandar muda ini begitu gagah. Begitu agung. Karena dialah salah satu hewan yang menjamin kelangsungan hutan hujan Aceh. 



Tapi, cerita hanyalah tinggal cerita. Para pejuang Aceh yang kini mulai menikmati tampuk kekuasaan seolah melupakan jasa para gajah Sumatra Aceh dalam membantu perjuangan Aceh di masa lalu maupun di masa perang Aceh. 


Satu persatu gajah sumatraku, mati. Dingin tak bernyawa. Gadingnya hilang, anaknya dibiarkan kelaparan. Rombongan gajah menjadi hama bagi penduduk. Di usir, di pukul, ditembak, dan dibunuh. Gajahku sayang, kini begitu malang nasibmu. Tak ada lagi Pocut Meurah seperti nama sandinganmu di masa Sultan. Hanya seekor hama besar. Tak lebih!


ini data per 2014, yang pasti, jumlah ini masih akan terus berkurang lalu akhirnya? Hilang?

Post a Comment

Start typing and press Enter to search