Hewan bertelinga besar bak kipas ini tergeletak begitu
saja. Berdiam diri. Bau, dan tak bernyawa. Sedih, kesal, marah, semua rasa
bercampur aduk menjadi satu. Tapi, yang pasti. Ada degup jantung yang berdetak
tak beraturan. Begitu cepat, dan, yang aku tahu, ini adalah emosi yang bergerak
ke ubun-ubun. Gajah sumatraku, mati lagi!
Suatu hari, aku bertanya, apa salahnya? Apakah karena
gadingnya yang menjadi suatu hal penentu strata sosial dalam bermasyarakat
ataukah hanya sekedar sebuah keegoisan diri. Tapi inilah keadaan Gajah Sumatra
di Aceh. Tempat di mana dulu dia begitu diagungkan. Tempat di mana dulu dia
mempunyai tempat istimewa.
Jauh sebelum hutan hujan Aceh rusak, gajah Sumatra, harimau
Sumatra, badak, dan orangutan tinggal bersama tanpa pernah dianggap hama.
Bahkan, dalam literature sejarah kesultanan Aceh, Gajah, menjadi sebuah
kebanggaan Sultan Iskandar Muda dalam menjalankan roda pemerintahan.
Bukan hanya itu, kecintaan sang sultan akan gajah akhirnya
membuahkan prajurit kavaleri bergajah yang jumlahnya mencapai 1.000 pasukan.
Pasukan gajah ini digunakan untuk melengkapi infanteri, pasukan berkuda dan
persenjataan artileri meriam yang dimiliki Sultan Iskandar Muda.
Aceh Darussalam pada waktu itu merupakan satu-satunya
kerajaan di Nusantara yang memiliki pasukan 1.000 gajah. Gajah-gajah tersebut
selain digunakan untuk armada perang juga untuk penyambutan tamu. Gajah-gajah
tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk membentengi istananya.
Ratusan gajah-gajah tersebut dilatih untuk menghancurkan dan berperang sehingga
tak takut suara senapan.
Iskandar Muda yang sangat menyayangi binatang ini
memberikan nama kepada masing-masing gajah. Dia juga sangat menghormati gajah
yang menurutnya paling berani dan paling terlatih.
Bahkan saking sayangnya dia dengan gajah, diceritakan pula
ketika gajah-gajah itu berjalan-jalan di luar, dia akan memerintahkan anak
buahnya untuk membawakan payung bagi mereka. (sumber sindonews.com)
Pada masa konflik lain lagi ceritanya. Pernah suatu ketika
saya mendengar cerita yang cukup mengharukan tatkala para pejuang Aceh terkepung
di dalam hutan. Salah satu anggota mereka tertembak dan kesulitan untuk
mengevakuasi. Musuh semakin dekat. Dan, mereka kebingungan.
Tiba-tiba, gerombolan gajah muncul dari balik semak-semak.
Para pejuang Aceh yang terjepit semakin terjepit. Mereka panik dan tak berdaya.
Gajah yang datang semakin ramai. Seolah ingin melahap mereka karena bermain di
area para gajah.
Ketika engkau menghargai alam, maka alam akan menjagamu. Begitulah
bunyi kiasan para pencinta hutan. Dan para pejuang Aceh terselamatkan dari
kejaran musuh. Musuh kebingungan. Jejak para pejuang Aceh berganti dengan jejak
rombongan gajah. Tak pun mereka berani mendekat. Karena rombongan gajah duduk
sembari memamah biak. Sehingga hal tersebut menimbulkan persepsi dimata musuh
kalau tidak mungkin pejuang Aceh bersembunyi di sekitar gajah.
Tapi yang sesungguhnya terjadi, para pejuang Aceh memang
dikelilingi oleh para rombongan gajah. Diselamatkan dari kejaran musuh.
Tapi kini?
Perlahan tapi pasti, pergeseran nilai-nilai akan kemuliaan
hewan besar ini hilang. Rakyat Aceh yang dahulu begitu bangga akan gajah
mereka. Kini tak lagi. Gajah tak lebih dari seekor hewan besar yang menganggu
ladang dan kebun sawit warga. Gajah Sumatra tak lebih dari hewan Hama yang
menganggu masyarakat Aceh.
Benarkah gajah itu hama? Sebenarnya siapakah yang hama
sebenarnya? Gajah, memiliki wilayah teritorial dalam sehari mengililingi areal
seluas 20 km untuk mencari makan. Dan, ia tak akan memasuki kawasan lainnya. Kecuali!
Lahan teritorial gajah sudah berubah menjadi kebun sawit ataupun ladang warga.
Nah, sampai di sini salah siapa? Siapa yang hama?
Gajahkah hama bagi manusia? Ataukah manusia itu sendiri
yang sebenarnya adalah hama bagi gajah? Pemandangan ini mulai terlihat biasa
dan menjadi sebuah hal yang tak wah lagi. Dahulu, ketika melihat gajah di
seputaran Saree, Aceh besar, saya selalu berteriak kegeringan. Bagaimana tidak,
hewan kebanggaan Aceh pada jaman iskandar muda ini begitu gagah. Begitu agung. Karena
dialah salah satu hewan yang menjamin kelangsungan hutan hujan Aceh.
Baca juga kenapa Hutan Leuser itu harus punah!
Tapi, cerita hanyalah tinggal cerita. Para pejuang Aceh yang
kini mulai menikmati tampuk kekuasaan seolah melupakan jasa para gajah Sumatra Aceh
dalam membantu perjuangan Aceh di masa lalu maupun di masa perang Aceh.
Satu persatu gajah sumatraku, mati. Dingin tak bernyawa. Gadingnya
hilang, anaknya dibiarkan kelaparan. Rombongan gajah menjadi hama bagi
penduduk. Di usir, di pukul, ditembak, dan dibunuh. Gajahku sayang, kini begitu
malang nasibmu. Tak ada lagi Pocut Meurah seperti nama sandinganmu di masa
Sultan. Hanya seekor hama besar. Tak lebih!
ini data per 2014, yang pasti, jumlah ini masih akan terus berkurang lalu akhirnya? Hilang? |
Post a Comment